Peristiwa jajak pendapat yang pernah dilakukan dan melatarbelakangi lepasnya Propinsi Timor Timor 18 tahun lalu, sejenak terbayang kembali ketika saya menginjakan kaki di Perbatasan Motaain – Atambua Nusa Tenggara Timor. Saat itu saya baru berusia 22 tahun dan tengah menjalani masa masa kuliah, yang juga tidak terlalu paham betul dengan situasi politik yang terjadi saat itu.
Namun, kuat dalam diri saya, cerita terlepasnya Timor Timor yang saat ini berganti dengan nama Timor Leste itu pasti menyisakan suka dan duka yang panjang jika diceritakan kembali.
Adalah salah satu pejuangan yang tergabung di TNI Angkatan Darat saat itu, LEITE pria kelahiran Dili asli yang kini sudah pension dengan pangkat akhir Sersan Dua – Serda.
Saya mengenalnya dari seorang kawan yang ada di Atambua – NTT saat mengunjugi perbatasan Motaain di Kabupaten Belu – NTT. Saat saya mengajak obrolan dengan pembuka kata mengapa Indonesia mau melepas Timor Timor?, bapak 7 anak ini hanya mengambil napas panjang dan terdiam lama. Ingatanya dikembalikan lagi pada peristiwa jajak pendapat tahun 1999 silam.
Iapun menceritakan sedikit demi sedikit, secara garis besar peristiwa lepasnya Timor Timur dari pangkuan ibu pertiwi, dan dia mengawal proses lepasnya negeri yang kaya akan sumber alam itu.
Meskipun terlihat sedikit sedih, namun LEITE berusaha untuk dapat dengan tenang mengingat peristiwa dahulu, yang dengan berat hati memilih meninggalkan tanah kelahiranya sendiri memilih Indonesia sebagai tempat berlindung di hari tuanya.
Saat itu yang Ia pikirkan adalah, bagaimana caranya keluar dari Dili – ibukota Timor Timur saat itu, dengan membawa serta keluarganya, namun kedua orangtuanya memilih untuk tetap tinggal di ibukota tersebut dengan segala resiko yang akan terjadi pada saat itu
Dengan sedikit tertahan, LEITE mencoba menceritakan alasan mengapa memilih merah putih sebagai tujuan akhir hidup bernegaranya, setelah ikut berjuangan untuk menahan lepasnya Timtim dari pangkuan ibu pertiwi.
Raut muka yang ikhlas pun masih terlihat saat dirinya dan keluarga besarnya harus bertemu di atas jembatan airmata, salah satu tempat yang menjadi kesepakatan bertemu bagi warga Indonesia dan Timor Leste.
Jembatan air mata inilah yang menjadi saksi bertemunya sebuah kerinduan, tangis dan sejuta haru biru saat itu. Dengan batasan waktu untuk bertemu, mereka bisa saling memahami, tanpa berujung dengan caci maki.
JIka digambarkan, jembatan air mata itu adalah sebuah jembatan yang ada di Mottain, sebagao pemisah antara wilayah RI dan Timor Leste. Jembatan ini di sisi kanan kirinya sebagian dicat warna merah, kuning hitam, sesuai dengan warna bendera Timor Leste, sementara disisi lain di cat warna merah putih. Diatas jembatan ini dipasang portal dan bagi yang melintas harus melapor kepada petugas pos jaga. Terlihat juga di sisi kanan kiri terdapat patok atau tugu yang ditanda tangani oleh menteri luar negeri masing masing yaitu dari Indonesia adalah Menlu Hasan Wirayuda, sementara dari Timor Leste adalah Ramos Horta.
Cerita yang mengharukan adalah ketika ibundanya meninggal dunia, selain tidak mendampingi ibundanya, dirinya pun harus mengurus paspor ke pihak imigrasi untuk dapat masuk ke wilayah Timor Leste, tempat kelahiranya sendiri.
Dari berbagai sumber, kami memperoleh informasi bahwa lepasnya Timor Timur ditandai dengan jajak pendapat yang dibalut dengan situasi mencekam kala itu. Banyak tangis, suka dan duka yang menyertai jajak pendapat yang berakhir pada kemenangan kemerdekaan Timor Timur sebagai Negara sendiri hingga saat ini.
Pada tanggal 4 September tahun 1999, pengumuman hasil jajak pendapat di Dili sangat mengangetkan banyak pihak karena jumlah suara untuk kemerdekaan Timor Timur sebanyak 78,5 persen sementara untuk yang pro integrasi hanya 21,5 persen.
Penduduk Timor Timur akhirnya mengungsi ke Atambua, NTT, namun pada saat itupun menurut LEITE, tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET (selama jajak pendapat) berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili.
Dari cerita beliau, di kamp-kamp pengungsian di Belu – Atambua, keadaan dan kondisinya waktu itu sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk termenung, banyak anak muda gelisah, ketakutan dan rasa marah dan dendam. Dan mereka adalah yang memilih hidup bersama Merah Putih – Indonesia. Dan tentunya pilihan itu, mengharuskan mereka terpisah dengan keluarga.(Anang)